People Power, Kekuatan Medsos, dan Pengaruh Media Daring

Jakarta, CNN Indonesia — Istilah ‘People Power‘ atau kekuatan rakyat pertama kali diucapkan oleh Dewan Pembina Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo SubiantoSandiaga Uno saat melakukan Apel Siaga atau aksi 313 (31/3) di depan kantor Komisi Pemilihan Umum. Tak dinyana, istilah tersebut justru menyulut gerakan-gerakan perlawanan saat pasangan capres-cawapres nomor urut 02 tersebut kalah.

Alhasil, gerakan mengatasnamakan kekuatan rakyat digaungkan di media sosial, termasuk platform pesan instan WhatsApp.

Laporan Drone Emprit untuk penggunaan kata kunci People Power selama periode 31 Maret hingga 21 Mei menyebut ada 587,1 ribu (587.091) percakapan mengenai People Power di Twitter.

Total ada 650,1 ribu (650.194) percakapan People Power di media sosial maupun media massa. Terkait media sosial, Drone Emprit mencatat Facebook menyumbang 14,8 ribu percakapan, YouTube 1,6 ribu, dan Instagram 26,2 ribu.

Pendiri mesin pengais media sosial Drone Emprit, Ismail Fahmi mencatat percakapan People Power di Twitter meningkat pada 5 April dengan angka sekitar 10,6 percakapan.

Tren tersebut sempat naik turun di kisaran angka 7.000 hingga 13 ribu percakapan. Tren percakapan People Power naik drastis pada 10 Mei dengan jumlah percakapan 30,8 ribu.

Percakapan People Power mencapai puncaknya jelang hari pencoblosan pada 17 Mei lalu. Tercatat hampir 42 ribu percakapan People Power terjadi pada 14 Mei lalu. Angka percakapan bahkan masih tinggi sebanyak 31,8 ribu percakapan pada 21 Mei.

Ismail mengatakan Twitter memiliki keunggulan karena lebih terbuka dibandingkan media sosial lainnya seperti Facebook dan Instagram. Twitter memiliki jangkauan luas untuk mempenetrasi suatu narasi politik. Pasalnya begitu suatu narasi atau isu yang dibangun menjadi trending, maka isu tersebut menjadi kuat dan dapat dilihat oleh siapapun.

“Twitter lebih terbuka, tapi Twitter terbuka bisa saling tahu yang ditulis lawannya. lebih open untuk lihat sana-sini. Kalau Facebook itu cenderung mereka hanya baca dari teman atau yang diikuti itu aja, jadi berputar-putar di satu lingkaran saja,” ujar Ismail saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (22/5).

Oleh karena itu efek echo chamber di Facebook sangat kuat daripada Twitter. Fenomena ini adalah pengguna media sosial berada di lingkungan pertemanan yang berpikiran serupa.

Akibat fenomena echo chamber yakni saat ada berita hoaks, seseorang bisa langsung mempercayainya. Mengingat mereka sudah menerima validasi berita hoaks dari teman dengan pemikiran serupa. (evn)

Peranan media dalam membangun narasi People Power

Ismail kemudian mengatakan media massa memiliki peranan penting dalam memperkuat narasai politik, terutama terkait People Power. Ismail menjelaskan dalam membangun narasi politik yang kuat dibutuhkan amplifikasi yang masif agar didengar oleh seluruh masyarakat. 

Amplifikasi narasi politik ini dilakukan dengan cara menjadikannya sebagai trending topic. Kemudian agar narasi politik lebih teramplifikasi, Ismail mengatakan kedua kubu berusaha narasi politiknya bisa dimuat di media massa.

Dalam Social Network Analysis, media massa khususnya media online berada di bagian tengah.  Media daring menghubungkan kedua kubu berdasarkan pola ‘retweet’ di antara jaringan kedua kubu. Artinya konten pemberitaan media massa dari berbagai angle yang independen digunakan oleh kedua kubu untuk mendukung sebuah narasi yang hendak dibangun.

“Kedua kubu memanfaatkan pemberitaan media. Media ada di tengah karena media itu  mengambil banyak angle. Suatu saat cocok oleh 01, maka 01 yang diangkat. Suatu saat cocok untuk 02, yang angkat akan 02,” jelas Ismail.

Ismail mencatat ada ada banyak tagar yang berkaitan dengan People Power. Di antaranya adalah tagar #PeoplePowerKontitusional,  #PeoplePowerApirasiRakyat, hingga #PeoplePowerItuLegal. Tagar ini dianggap Ismail belum bisa memberikan dampak yang besar, kecuali diberitakan oleh media.

“Ketika jadi trending, siapapun bisa lihat, jadi narasi kecil-kecil lewat cuit-cuit kecil tadi jadi sangat kuat ketika jadi trending.  Mungkin trending ini mungkin belum jadi apa apa kalau media belum mengangkat narasi ini,” imbuhnya.

Ismail mengatakan media memang memiliki kekuatan besar untuk mendorong sebuah trending topicuntuk menguatkan narasi politik. Pasalnya, apabila trending topic itu diberitakan oleh media, maka narasi politik semakin luas persebarannya.

“Kalau trending saja, sehari bisa hilang. Kalau ditangkap oleh media jadilah itu makin kuat. Jadi sudah tidak lagi terbatas di medium Twitter tapi masuk ke platform media online,” pungkasnya.

Oleh karena itu, Ismail menyebut media sebagai jembatan informasi di antara kedua kubu. Media massa juga menjadi alat amplifikasi narasi yang hendak dibangun kedua kubu.  

Ismail mengatakan akan mudah untuk memvalidasi  narasi politik yang sudah diberitakan oleh media massa. Ketika masuk ke media, pendukung satu kubu akan mudah membagikan dan melakukan screenshot yang akan disebarkan untuk memperkuat narasi politik. 

“Media sebagai ‘information arbitrage’ atau jembatan informasi. Harus berhati-hati`memberitakan peristiwa. Harus valid dan bijak. Karena tulisannya akan menjadi sumber narasi bagi semua pihak,” ucap Ismail.

Drone Emprit mencatat ada 20,4 ribu isu terkait Peopl Power yang disebut oleh media daring. Metode perhitungan isu ini berdasarkan jumlah kata kunci People Power di setiap paragraf dalam artikel. Kendati demikian apabila dalam satu paragraf menyebut dua kali People Power, maka akan tetapi dihitung satu People Power.

Ismail menjelaskan media daring mulai memainkan isu People Power pada 1 April dan artikelnya baru mulai naik sehari berikutnya dengan angka 283 artikel. Angka tersebut relatif stabil di angka 100 artikel setiap harinya.

Kemudian lonjakan dimulai satu minggu sebelum hari pemilihan, yakni pada 10 Mei dengan 242 artikel. Angka tersebut kemudian melonjak ke angka 601 artikel pada 15 mei.

Selang dua hari berikutnya pada hari pencoblosan, 17 Mei angka meningkat ke angka 634 artikel. Puncaknya tercatat pada 21 Mei dengan 895 artikel. Di hari yang sama terjadi aksi demonstrasi massa yang menolak hasil rekapitulasi KPU di kantor Bawaslu. (evn)

Media sosial pendorong pergerakan People Power

Dihubungi terpisah, Pakar Teknologi Informasi Ruby Alamsyah menjelaskan media sosial memang dijadikan mobilisasi hingga penggorengan narasi politik. Media sosial memiliki kekuatan utama untuk menjaring pendukung dengan kemampuan cakupan sebaran informasi dan membuat orang ingin berinteraksi.

Pendukung akar rumput Prabowo Subianto – Sandiaga Uni bergerilya di grup WhatsApp untuk membangun narasi politik bahwa ada kecuranga terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Mulai dari kesalahan input data situng KPU, kematian ratusan anggota KPPS, hingga penggelembungan perolehan suara.

“Medsos itu dijadikan tempat untuk melakukan propaganda yang memang terjadi belakangan ini. Apalagi demo hari ini (Rabu 22 Mei), kita melihat banyak propaganda yang dibuat di medsos dan aplikasi pesan pesan singkat,” kata Ruby.

Celakanya kemampuan media sosial untuk menyebarkan propaganda dengan masif dan menyeluruh ini tidak diiringi dengan kemampuan verifikasi masyarakat awam.

Bagi Ruby, masyarakat awam tanpa kemampuan verifikasi ini lebih memilih untuk percaya kepada konten terlebih dahulu lalu menyebarkan konten tersebut. Oleh karena itu, informasi hoaksmenyebar dengan cepat.

“Media sosial itu dianggap powerful untuk mencari dukungan pihak awam yang tidak verifikasi bahwa sebuah informasi itu benar atau tidak. Propaganda dalam 24 jam itu belakangan banyak sekali hoaks, yang berisi hal tidak benar menyudutkan pihak tertentu dan menggiring opini masyarakat awam,” ujarnya.

Ruby juga mengatakan media sosial juga bertranformasi menjadi darah bagi manusia. Media sosial tak bisa dipisahkan bagi kehidupan manusia.

” Termasuk WhatsApp, Telegram, pokoknya yang menjadi sebuah media komunikasi bagi masyarakat yang digunakan sehari-hari akhirnya digunakan. Pokoknya apapun media komunikasi yang digunakan masyarakat itu dijadikan media,” pungkasnya. (evn)


Pengamat: Pembatasan Medsos Jangan Terlalu Lama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar media sosial, yang juga pembuat mesin pengais medsos Drone Emprit, Ismail Fahmi berharap pemerintah tidak terlalu lama melakukan pembatasan penggunaan media sosial. Sebab, apabila terlalu lama dibatasi penggunaannya, semakin banyak masyarakat akan menggunakan VPN untuk mengakses akun mereka.

Ismail mengatakan, sebenarnya yang dilakukan pemerintah membatasi penggunaan media sosial adalah langkah yang tepat. Sebab, situasi pada saat aksi Rabu (22/5) di depan Gedung Bawaslu dan sekitarnya sangat ricuh termasuk di media sosial.

Informasi yang salah banyak beredar dengan kecepatan tinggi di media sosial sehingga memang harus ditahan penyebarannya. Menurutnya, langkah membatasi penggunaan media sosial yang dilakukan pemerintah merupakan hal yang sangat mendesak.

Namun, pemerintah perlu memperhitungkan dampak dari pembatasan penggunaan media sosial tersebut. Ismail menuturkan, saat ini masyarakat sudah banyak yang menggunakan VPN. Padahal sebelumnya, banyak di antara mereka yang tidak mengerti penggunaan VPN.

Penggunaan VPN ini, menurut Ismail bisa merugikan negara. Sebab, dengan menggunakan VPN masyarakat akan bisa mengakses situs-situs yang diblokir oleh pemerintah. Hal itu berarti, pemblokiran yang dilakukan tidak efektif.

“Jadi kita lihat orang-orang pakai VPN. Ini dampak buruk. VPN adalah cara untuk mengelabui mekanisme sensor pemerintah saat ini. Pemerintah kan tiap kali ingin ngeblokir tinggal bilang ke Kominfo. Sekarang masyarakat sudah tahu caranya menembus situs dibolir menggunakan VPN,” kata Ismail pada Republika, Kamis (23/5).

Selain itu, VPN ternyata juga dapat berbahaya bagi keamanan telepon pintar. Melalui VPN, artinya membiarkan data pribadi yang terdapat dalam telepon pintar dilihat oleh pihak yang membuat VPN. Hal itu tentunya berbahaya karena pembuat VPN bisa merekam data para penggunanya.

Apalagi, saat ini banyak telepon pintar yang di dalamnya memiliki aplikasi perbankan. Pembuat VPN bisa saja merekam data-data perbankan tersebut. “Data kita bisa direkam oleh yang punya VPN. Harus hati-hati,” kata Ismail menegaskan.

Masalah lain yang muncul dari pembatasan penggunaan media sosial ini adalah banyak pihak yang tidak bisa bekerja dengan lancar. Khususnya para pemilik toko online dan juga para dokter.

Ismail memandang, para penjual di toko online tidak bisa dengan mudah menyebarkan barang dagangan mereka dan berkomunikasi dengan calon pembelinya. Sementara para dokter juga terganggu karena tidak sedikit yang berkoordinasi dengan pasien melalui media sosial.

“Dokter di RS, koordinasi tentang pasien, kadang mereka konsultasi kan pakai whatsapp. Itu terhambat. Jadi di kesehatan, di pelayanan lain akhirnya terdampak. Ini bukan hal yang kecil. Ini harus dipikirkan seandainya suatu saat akan melakukan hal yang sama,” kata Ismail.

Lebih lanjut, Ismail berharap pemerintah terus melakukan evaluasi terhadap pembatasan penggunaan media sosial yang masih berlangsung. Sebab, banyak pihak yang dirugikan dan penggunaan VPN justru bisa berbahaya terhadap masyarakat.

Pengamat Bongkar Perang Polling Jokowi vs Prabowo

Eka Santhika, CNN Indonesia | Rabu, 15/08/2018 13:52 WIB

Jakarta, CNN Indonesia — Pengamat media sosial Ismail Fahmi membeberkan soal siapa saja yang bertarung terkait polling pasangan Capres dan Cawapres pilihan untuk Pilpres 2019.

“Dari SNA (social network analysis) dan analisis topik ini saya jadi paham. Kubu yang satu ternyata sedang menjalankan misi memenangkan Jokowi dalam 80 polling. Kubu satunya sedang melaporkan dan curiga kalau polling-polling yang awalnya mereka menangkan ternyata kalah dalam injury time (detik-detik terakhir),” jelas Ismail  ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (15/8). 

Hal ini ia simpulkan berdasarkan pengamatan menggunakan software pengumpul percakapan Drone Emprit pada tagar #JokowiMenang80Polling. Tagar ini sempat menjadi tren pada Selasa (14/8). 

Dari hasil pengumpulan data, didapatkan bahwa Tagar tersebut menjadi trendingdengan mendapat 397 mention. Ismail pun mengamati kata kunci lainnya ‘robot polling’. Kata kunci ini hanya mendapat 94 mention. 

Lantas ia membongkar siapa saja yang mencuitkan tagar ini. Menurutnya, #JokowiMenang80Polling digunakan oleh akun-akun pendukung Jokowi Maaruf seperti @DukungCakimin, @Kuwera_ID. Cuitan dari @biawak_buas mendapat paling banyak retweet sehingga memviralkan tagar tersebut.

“Dari tebel most retweeted untuk #JokowiMenang80Polling, user biawak_buas menampilkan sebuah video berisi berbagai polling yang dimenangkan oleh JKW-MA, dan PAS kalah telak,” jelasnya. 

Di sisi lain, kubu Prabowo-Sandiaga mengangkat topik terkait robot polling. Topik ini dicuitkan oleh akun @RestyCayah yang menjadi pemimpin opini (key opinion leader) dan cuitan dari @Elang_Sutajaya1 yang mendapat paling banyak retweet.

“Sementara dari tabel most retweeted untuk ‘Robot Polling’, user Elang_Sutajaya1 menampilkan screenshot bukti bagaimana dari waktu ke waktu sebuah pollingdimana PAS menang telak, lalu pada waktu tertentu dengan cepat berbalik JKW-MA yang menang.”

Lebih lanjut, Ismail menuturkan bahwa buzzer yang melancarkan serangan pemenangan cuitan ini memiliki puluhan ribu hingga ratusan ribu akun robot. Pada saat sebuah polling Twitter dilakukan, mereka akan menentukan target polling yang akan disasar. Pada saat yang tepat, ribuan atau puluhan akun digunakan untuk nge-vote salah satu target jajak pendapat.

“Dan yang kritis adalah saat-saat menjelang voting berakhir. Mereka mengerahkan sisa kekuatan untuk mendapatkan hasil vote tertinggi,” tuturnya. 

Sehingga, kubu yang tidak siap dengan robot, dan hanya mengandalkan user natural, pasti tidak akan bisa mengejar dalam waktu hanya beberapa menit saja. Sebab, perilaku voting yang dilakukan oleh pengguna sesungguhnya tidak langsung mencuat secara tiba-tiba. 

Hal itu, kata dia, hanya bisa terkumpul perlahan dalam jangka waktu tertentu. 

Sumber : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180815131734-185-322442/pengamat-bongkar-perang-polling-jokowi-vs-prabowo

Perang “Buzzer” Saat Debat Dinilai untuk Pengaruhi Persepsi Pemilih

Source : Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com – Drone Emprit, sebuah perusahaan berbasis big data, mengungkapkan bahwa perang siber pada saat debat pertama Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 merupakan ajang adu kekuatan antara kedua pasangan calon.

Hal itu diungkapkan pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi setelah pihaknya menganalisis pola pertarungan di media sosial pada saat sebelum hingga sesudah debat tersebut.

“Kalau saya simpulkan ini perang buzzer, show off force dari kedua paslon dan kita bisa expect mereka akan bermain juga (di debat berikutnya),” ungkap Ismail di kantornya, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (24/1/2019).
Menurutnya, media sosial menjadi sasaran empuk sebagai ranah perebutan kedua paslon karena menjadi sarang para pemilih yang belum menentukan pilihannya. 

Oleh karena itu, kedua paslon berjuang untuk membangun persepsi publik di ranah media sosial untuk menggaet pemilih. “Salah satu yang menjadi driving force, penelitian dari Alvara (Research Center), semakin orang main internet, semakin orang enggak percaya pilihannya siapa, makanya mereka harus membangun persepsi,” terangnya.

Dari hasil analisis Drone Emprit terkait perang di dunia siber saat debat, Ismail memiliki beberapa catatan terkait hasil analisis tersebut. Ismail menyebutkan pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin memiliki pasukan dalam jumlah banyak untuk bekerja pada saat debat.

“Kalau saya lihat ada deployment pasukan yang cukup besar, dari sisi kubu 01, yang tidak seperti biasanya, akun-akun yang terlibat sangat tinggi dan menyiapkan materi,” ungkapnya. Ia mengatakan, terdapat satu pasukan khusus dalam kubu Jokowi-Ma’ruf yang secara spesifik membahas persoalan dana desa.

Namun, Ismail mengungkapkan, Jokowi hanya tinggi dalam hal jumlah mention, namun minim interaksi di media sosial. Dapat diartikan bahwa cuitan-cuitan itu dilontarkan menggunakan program.

“Secara pasukan, pada saat debat Jokowi menang, dia deploy betul, tapi pasukan-pasukan bayaran, mohon maaf. Hari-hari biasa tidak sebanyak itu, pas debat tinggi, begitu selesai, sehari, dua hari debat, pasukannya hilang lagi,” jelas Ismail.

Kebalikannya, akun-akun yang terafiliasi atau pendukung paslon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, terlihat sangat solid di media sosial. Ismail menyebutkan, tingkat interaksi dalam lingkaran pendukung Prabowo-Sandiaga terbilang tinggi.

“Sementara (paslon) 02 (jumlahnya) segitu-segitu saja tapi solid terus,” katanya. Misalnya, pada saat awal debat pukul 20.00-21.00 WIB, tingkat interaksi terkait paslon 01 adalah 2,64 sementara yang terkait paslon 02 yaitu 3,74. Pada jam berikutnya, pukul 21.00-22.00, tingkat interaksi terkait paslon 01 adalah 5,89 sementara yang terkait paslon 02 yaitu 6,85. Berikutnya, masih di saat debat pada pukul 22.00-23.00, tingkat interaksi terkait paslon 01 adalah 6,44 sementara paslon 02 yaitu 7,11. Baca juga: Pola Pertarungan di Medsos saat Debat Pertama: Pasukan 01 Lebih Banyak, Pasukan 02 Solid Meski solid, hasil analisis Drone Emprit menunjukkan bahwa percakapan terkait paslon 02 sempat redup dari basis pendukungnya di media sosial.

Oleh karena itu, ketika jumlah penyebutan yang terkait dengan Prabowo-Sandiaga tinggi, hal itu dapat disebabkan adanya sumbangan dari kelompok pendukung paslon 01. “Saat perdebatan dia keteteran dalam hal menyerang Jokowi, dia ga banyak menyerang Jokowi. Dia juga enggak terlalu banyak menyebut Prabowo, akibatnya dia tinggi sekali percakapan tentang Prabowo, tetapi itu disumbang dari Jokowi yang begitu masif,” terang dia.

Drone Emprit menganalisis percakapan di media sosial menggunakan teknologi big data dengan keahlian Artificial Intelligence dan Natural Learning Process (NLP).

Link : https://nasional.kompas.com/read/2019/01/25/13420021/perang-buzzer-saat-debat-dinilai-untuk-pengaruhi-persepsi-pemilih?page=all