Merdeka.com – Mahasiswa biasanya selalu turun ke jalan menyampaikan kritik dan aspirasi kepada pemerintah. Mereka membawa spanduk bahkan mobil komando ke depan Istana atau gedung DPR.
Namun, perkembangan zaman dan teknologi mengubah cara mahasiswa berpendapat. Mereka memilih menyampaikan suaranya lewat media sosial. Media sosial menjadi salah satu ruang publik yang dewasa ini dimanfaatkan banyak orang untuk berbicara segala hal termasuk protes pada pemerintah.

Kritik mahasiswa dengan memanfaatkan media sosial seperti menjadi fenomena belakangan ini. Sejumlah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) universitas terkemuka berani melontarkan kritik pedas terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di media sosial, baik melalui poster atau meme.
Munculnya kritik terhadap Presiden Jokowi di media sosial dimulai oleh BEM Universitas Indonesia yang menyebut Jokowi King of Lip Service. BEM UI mengunggahnya di akun Instagram resmi mereka. Seketika apa yang dilakukan BEM UI menjadi viral, ada pro dan kontra. Bahkan Rektor UI turun tangan menindak BEM. Jokowi pun ikut bereaksi menanggapi unggahan dari BEM UI. Jokowi menyatakan siap dikritik asal sopan dan santun. Usai UI, sejumlah BEM lain ikut mengkritik presiden di media sosial.
Kritik Lewat Media Sosial Dinilai Efektif
Pemerhati media sosial yang juga pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan kritik atau protes yang dilakukan mahasiswa dan ditujukan untuk pemerintah sebenarnya bukan hal baru. Itu sudah terjadi sejak lama.
Hanya saja, cara yang digunakan mulai bergeser. Saat ini, sejumlah mahasiswa memilih media sosial sebagai tempat menyampaikan aspirasi pada pemerintah. Tidak melulu harus turun ke jalan.
“Dan metode media itu cuma mengikuti zaman saja, kalau sekarang memakai medsos ya pasti memakai medsos. Kalau zaman dulu itu kan selebaran, buat email di-blast begitu. Jadi mereka itu ngikutinlah perkembangan media sosial. Jadi ini kalau dibilang sesuai dengan platform tren,” kata Ismail kepada merdeka.com, Senin (19/7).
Sebelum pandemi terjadi, sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa juga akrab dengan media sosial. Selain itu, dia yakin antar BEM juga sering berkomunikasi lewat media sosial.
Fahmi menambahkan, selain pengaruh tren, penyampaian aspirasi lewat media sosial dinilai sangat efektif untuk menghasilkan efek timbal balik. Buktinya, kata dia, Jokowi dan sejumlah pihak merespons kritik berbalut meme yang disampaikan BEM UI beberapa waktu lalu.
“Itukan bisa dilihat dari Pak Jokowi yang merespons kemarin. Apa yang dilakukan BEM UI itu kemudian direspons sampai harus membuat pernyataan. Kemudian sampai jadi bahan pembahasan di televisi, kemudian media jadi banyak yang mengangkat. Hanya dengan beberapa postingan di Twitter itu dampaknya begitu besar,” tuturnya.

Ismail melanjutkan apa yang dilakukan BEM UI saat itu adalah resonansi isu. Apalagi paling berat seperti BEM UI yang mendapatkan teror duluan.
“Dan ini dites, kalau yang UI ini gagal misalkan dia dipenjara atau segala macam, mungkin BEM-BEm yang lain bakal diam. Tetapi kan enggak begitu, Pak Jokowi malah bagus mempersilakan mahasiswa untuk mengkritik. Akibatnya BEM UI kan aman, BEM UI tidak dikeluarkan dari universitas,” katanya.
Kritik BEM UI Diikuti Sejumlah Kampus
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam akun instagramnya, mereka menyebut orang nomor satu di Indonesia itu sebagai ‘The King of Lip Service’.
Dalam unggahannya, BEM UI juga menyertakan foto Presiden Jokowi dengan mahkota raja disertai dengan tulisan “JOKOWI: THE KING OF LIP SERVICE”. Mereka juga mengunggah sejumlah pernyataan Presiden, serta referensi beritanya.
Foto yang diunggah disertai dengan narasi: “Halo, UI dan Indonesia! Jokowi kerap kali mengobral janji manisnya, tetapi realitanya sering kali juga tak selaras. Katanya begini, faktanya begitu. Mulai dari rindu didemo, revisi UU ITE, penguatan KPK, dan rentetan janji lainnya. Semua mengindikasikan bahwa perkataan yang dilontarkan tidak lebih dari sekadar bentuk “lip service” semata. Berhenti membual, rakyat sudah mual! Brigade UI 2021 #BergerakProgresif.”
Wakil Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI Fathan Mubina mengakui pihaknya sengaja mengunggah konten itu. Dia menyatakan unggahan itu sebagai bentuk kritik yang dibuat oleh Brigade UI, organ taktis di bawah BEM UI.
BEM UI menganggap banyak pernyataan Presiden tidak sesuai realita. Fathan mencontohkan, wacana revisi UU ITE justru direalisasikan dengan penerbitan buku pedoman dan ditambah pasal baru yang berpotensi menjadi pasal karet.
“Terkait TWK (pegawai KPK), yang seharusnya tidak menjadi dasar pemecatan, namun terdapat 20 orang lebih yang akan dipecat. Jadi ini sebagai kritik seharusnya presiden tegas dengan pernyataannya,” ungkap Fathan, Minggu (27/6).
Fathan menuturkan, banyak isu sosial dan politik terkait Presiden Jokowi yang perlu disikapi BEM UI. “Di pemberitaan yang ada di media, apa yang dinyatakan (Jokowi) itu tidak sesuai dengan realisasinya dan cenderung menunjukkan tidak adanya keseriusan gitu dalam merealisasikan pernyataan tersebut, jadi berangkat dari keresahan itu,” paparnya.
Dia menjelaskan, postingan itu tidak diniatkan untuk menyikapi isu tertentu yang beredar sekarang. Mereka hanya mereview ulang bagaimana Presiden menyikapi berbagai isu. Unggahan itu didasarkan kompilasi dari berita yang beredar.
“Jadi untuk postingan konsepnya gitu. Kemudian soal viralnya, mungkin ini juga hal yang sudah ada, polanya begitu dari dulu, kalau kita menyinggung pihak tertentu, publik itu kadang tidak bisa membedakan antara personal dan tanggung jawabnya. Kita tidak memojokkan Pak Jokowi sebagai satu orang, sebagai personalnya, tapi lebih ke tanggung jawabnya sebagai Presiden,” tegasnya.
Kemudian, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip Universitas Padjadjaran (Unpad) mengkritisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui konten di media sosial. Mereka meminta pejabat pemerintah berhenti ‘ngibul’ dan bekerja sebaik-baiknya untuk memperbaiki tingkat kepercayaan publik yang turun.

Konten kritik diunggah di berbagai platform media sosial seperti Instagram dan twitter @bemfisipunpad. Unggahan pertama diisi oleh gambar dengan tulisan “Kami Bersama Presiden Jokowi”. Namun pada unggahan berikutnya berisi gambar Presiden Joko Widodo dengan tulisan “Tapi Boong”.
Unggahan berikutnya berisi poin-poin dari kritik yang disampaikan. Yang pertama mereka menilai presiden antikritik. Kritik yang disampaikan kerap berujung pada serangan di media sosial maupun aksi represif. Contohnya saat demonstrasi omnibus law.
Poin kedua adalah kriminalisasi kepada masyarakat adat. Dari catatan mereka, melansir YLBHI, terjadi 51 kali kriminalisasi terhadap masyarakat adat sepanjang tahun 2019. Poin ketiga berisi tentang inkonsistensi pernyataan presiden dengan kinerja dari jajarannya.
Contoh kasusnya adalah saat Tes Wawasan Kebangsaan pegawai KPK. Dalam beberapa cuitannya, Presiden Joko Widodo menyatakan hasil TWK tidak dijadikan satu–satunya dasar dalam pemberhentian 75 pegawai KPK. Namun faktanya, KPK tetap mencoret 51 dari 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan.
Poin keempat, BEM Fisip Unpad mengkritisi kebingungan pemerintah menghadapi krisis saat pandemi Covid-19. Selama pandemi berlangsung, penanganan dianggap carut-marut dan belum ada tanda bisa mengakhirinya. Di sisi lain, saat pandemi mash berlangsung, pemerintah bersama DPR mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial dengan disahkannya UU Minerba dan UU Cipta Kerja.
Poin kelima adalah kursi pejabat publik hingga komisaris BUMN untuk keluarga dan rekan dekat. BEM Fisip Unpad menilai di era Presiden Joko Widodo, anak dan menantunya ada yang menjadi kepala daerah. Yakni, Gibran Rakabuming Raka (Wali Kota Solo) dan Bobby Nasution (Wali Kota Medan).
Lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Pemerintahan Mahasiswa (PM) Universitas Udayana (Unud) Bali menyebut orang nomor satu di republik ini sebagai ‘The Guardian of Oligarch’.
Kritik itu diunggah BEM PM Unud di akun instagram resmi miliknya @bem_udayana, dikutip Senin (19/7). Meme hitam putih yang mereka posting mirip dengan poster film ‘Guardians of the Galaxy’.
Selain meme, BEM PM Unud juga mengunggah narasi mengkritik rezim pemerintahan Jokowi-Ma’ruf yang dinilai penjaga oligarki.
“Defenisi oligarki menurut akademika Jeffrey A Winter, pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi eksklusifnya,” tulis BEM PM Unud.
BEM PM Unud menilai Jokowi sering kali mengeluarkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan sekelompok tertentu. Kepentingan itu bahkan tidak menghiraukan kepentingan serta kesejahteraan rakyat.
Mereka menyebut, hal itu terlihat dari kondisi kekuasaan di mana terjadi pembajakan institusi dan regulasi guna membentuk kebijakan dan perangkat hukum seperti UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba yang merugikan rakyat secara keseluruhan.
Kebijakan tersebut, lanjut BEM PM Unud, telah melanggengkan praktik korupsi oleh politikus koruptor hingga merusak lingkungan. Selain itu, BEM PM Unud juga menyoroti kebebasan sipil yang semakin direpresi terutama hadirnya buzzer-buzzer di media sosial.
Ruang demokrasi itu, lanjut BEM PM Unud, telah menyempit. “Kekuasaan hari ini dijaga oleh buzzer yang secara terang-terangan menyempitkan ruang demokrasi dan kritik,” tulis BEM PM Unud.
Sejatinya, kritik kepada pemerintah memang perlu dilakukan. Namun, kritik juga harus menggunakan data yang valid agar tidak menimbulkan hoax atau ujaran kebencian semata.
Jika berpendapat atau menyampaikan kritik melalui media digital, dapat membaca dan memahami UU Nomor 19/2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU tersebut terdapat ketentuan pidana pada Pasal 45 ayat (1) tentang muatan yang melanggar kesusilaan; ayat (2) tentang muatan perjudian; ayat (3) tentang muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; ayat (4) tentang muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Selain itu, ada pula Pasal 45a ayat (1) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen; ayat (2) tentang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu atas SARA.
Serta Pasal 45b tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Sedangkan jika masyarakat ingin menyampaikan kritik melalui unjuk rasa, baiknya terlebih dahulu membaca dan menyimak UU Nomor 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. [lia]