JAKARTA, KOMPAS — Upaya pembangunan narasi sosial politik di media sosial melalui rangkaian akun palsu dan bot, baik oleh aktor negara maupun oposisi, terus berkembang meski para pemilik platform memperketat pengawasannya. Tidak hanya terjadi di Indonesia, ini adalah fenomena global.
Pertengahan pekan lalu, Twitter membongkar sejumlah jaringan disinformasi yang terdiri dari 1.594 akun beroperasi di lima negara, yakni Iran, Arab Saudi, Kuba, Thailand, dan Rusia.
Akun-akun tersebut diduga memiliki keterkaitan dengan pemerintahan masing-masing dan digunakan untuk membangun narasi propemerintah, baik untuk audiens domestik maupun menggalang dukungan dari negara tetangga.
Twitter menyatakan bahwa tujuan dari pembukaan informasi ini adalah membangun pemahaman publik mengenai bagaimana sebuah aktor negara menyalahgunakan diskursus terbuka yang demokratis.KOMPAS/PRIYOMBODO
Coretan kekecewaan terkait penolakan terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja oleh DPR di Jalan Ciledug Raya di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Minggu (11/10/2020). Mural serta coretan bernada serupa banyak dijumpai di berbagai tempat setelah unjuk rasa menolak disahkannya RUU Cipta Kerja pada Kamis lalu.
Untuk diketahui, regulasi Twitter melarang penggunaan sejumlah akun palsu yang terkoordinasi untuk mengamplifikasi suatu topik secara artifisial.
”Kami meyakini bahwa kami memiliki tanggung jawab untuk melindungi integritas percakapan publik dan mengawasi kekuasaan dan wewenang negara,” bunyi keterangan dari Twitter tersebut.
Pada hari yang sama, Facebook juga membongkar jaringan akun, grup, dan laman (page) Facebook yang diduga terkoordinasi untuk membangun suatu narasi tertentu di sejumlah negara, antara lain Myanmar, Azerbaijan, dan Nigeria.
”Para pelaku ini menggunakan akun-akun palsu ini untuk menipu masyarakat, termasuk dengan cara seakan-akan sebuah opini didukung ataupun dikritisi oleh banyak orang,” kata Head of Security Policy Facebook Nathaniel Gleicher.
Propaganda komputasional
Pendiri Drone Emprit and Media Kernels Indonesia Ismail Fahmi menggunakan istilah propaganda komputasional untuk merujuk penggunaan akun palsu dan bot guna menciptakan narasi di media sosial secara terkoordinasi.
Ia membenarkan bahwa cara ini digunakan oleh mereka yang pro ataupun kontra dengan kebijakan pemerintah apabila melihat konten yang diunggah dan disebarkan.KOMPAS/PRIYOMBODO
Mural bertema ”no hoax” menghiasi tembok di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Selasa (5/5/2020). ”Hoax” atau hoaks atau penyebaran informasi palsu di masyarakat melalui berbagai media terutama media sosial dan grup percakapan kian mengkhawatirkan. Salah satu yang menjadikan maraknya penyebaran hoaks adalah kenyataan jumlah pemegang telepon pintar yang terus meningkat.
”Terlihat bahwa ada rangkaian akun yang mengangkat konten propemerintah dan ada jaringan lain yang mengunggah konten pro-oposisi,” kata Ismail saat dihubungi, Senin (12/10/2020).
Ismail mengatakan, sebetulnya, Twitter secara otomatis akan mendeteksi akun-akun palsu dan bot yang diciptakan untuk mendorong sebuah tagar menjadi salah satu trending topics. Namun, para aktor semakin lihai.
Ia mencontohkan, kini setiap akun palsu dan bot tersebut akan mengunggah cuitan yang isinya ”berbeda” meski perbedaannya hanya pada sejumlah kata ataupun tanda baca.
Agar terlihat berbeda, akun palsu dan bot ini kini sering menyertakan tagar yang disusun dari kombinasi huruf dan angka secara random guna menipu sistem detektor Twitter.
Pakar komunikasi dan media digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, pun menyatakan pandangan serupa bahwa pembangunan narasi melalui akun palsu dan bot adalah upaya mendistorsi dan memengaruhi opini publik.
Namun, menurut dia, tagar trending topics yang dibangun secara artifisial akan sulit mewujud di dunia nyata. Tagar trending topics yang organiklah yang mencerminkan kondisi riil yang dirasakan warganet.
Oleh karena itu, ia menilai sebetulnya saat ini tagar pada trending topics tidaklah begitu signifikan dalam memengaruhi opini publik. ”Masyarakat sekarang sudah bisa membedakan trending topics yang organik ataupun yang berasal dari bot,” kata Firman.
Lalu, mengapa tetap ada upaya masuk ke trending topics Twitter? Ismail mengatakan, ini adalah upaya untuk menarik perhatian media massa konvensional untuk mengarusutamakan narasi-narasi tersebut.
”Jadi, ketika media massa meng-pick up salah satu trending topics untuk dibahas, itu justru menyebar. Dari situlah informasi bisa menyebar ke masyarakat yang mungkin tidak menggunakan media sosial. Dari situ harapannya opini publik yang online ataupun offline terpengaruhi,” papar Ismail.
Perilaku akun palsu yang diduga memiliki keterkaitan dengan pemerintah Indonesia pun juga pernah dibongkar oleh Twitter pada April 2020. Dalam investigasi tersebut, Twitter menemukan jaringan yang terdiri dari 795 akun palsu yang menarget gerakan kemerdekaan Papua Barat.
”Ratusan akun palsu tersebut menyebarkan konten dari situs-situs berita yang mencurigakan dan mempromosikan konten yang pro-Pemerintah Indonesia,” tulis Twitter.
Dari militer hingga mahasiswa
Investigasi Twitter pada Oktober ini menemukan 926 akun palsu yang memiliki keterkaitan dengan Pemerintah Thailand. Jaringan akun palsu ini diduga adalah bentuk operasi informasi yang dilakukan militer Thailand (Royal Thai Army/RTA).
Sejumlah akun ini melakukan amplifikasi percakapan yang berisi konten pro-RTA dan propemerintah sekaligus menarget tokoh oposisi. ”Kami akan terus menutup akun yang memiliki kaitan dengan 926 akun ini,” demikian bunyi keterangan Twitter.
Twitter juga menemukan Arab Saudi menggunakan serangkaian akun Twitter untuk membangun narasi pro-Arab Saudi di Qatar. Jaringan yang terdiri dari 33 akun palsu tersebut dirancang sedemikian rupa untuk meniru tokoh politik di Qatar.
Twitter juga membongkar 526 akun palsu yang dijalankan oleh sejumlah organisasi yang memiliki keterkaitan dengan Pemerintah Kuba; termasuk Persatuan Pemuda Komunis (Unión de Jóvenes Comunistas/UJC) dan Federasi Mahasiswa (Federación Estudiantil Universitaria/FEU).
Adapun di Facebook, otoritas Facebook menutup 56 akun Facebook dan Instagram yang diduga mempromosikan situs-situs pemberitaan yang dikontrol oleh militer.
Akun-akun ini mengunggah konten-konten yang berisi berita lokal, seperti aktivitas militer dan partai politik tertentu, termasuk mengkritik tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi. Akun tersebut juga dinilai telah beberapa kali mengunggah konten anti-Rohingya.
”Meskipun para individu di balik akun-akun ini menutupi identitas mereka, hasil investigasi kami menunjukkan keterkaitan mereka dengan sejumlah anggota militer Myanmar,” kata Gleicher.