TEMPO.CO, Jakarta – Pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mengatakan fenomena pendengung atau buzzer kini telah berubah menjadi profesi. Para buzzer, menurut dia, sebagian besar adalah otomatisasi dari algoritma.
“Buzzer ini yang disebut sebagai cyber troops,” kata Fahmi dalam webinar yang diadakan oleh Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah pada Kamis, 30 September 2021.
Lebih lanjut, Fahmi menjelaskan mengenai computational propaganda, yaitu bot, algoritma, atau otomatisasi. Bot tersebut digunakan untuk memanipulasi opini publik melalui media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan Youtube.
“Ini yang disebut bot-nya. Bot ini banyak dipakai oleh aktor-aktor politik,” katanya.
Selain itu, Fahmi juga menerangkan soal cyber troops. Pada umumnya pendengung jenis ini dimiliki oleh pemerintahan, militer, partai politik hingga industri. Ia menjelaskan mereka memiliki struktur. “Di dalamnya ada influencer/buzzer dan tim-tim fans untuk amplifikasi followersnya,” jelas Fahmi.
Fahmi menegaskan bahaya buzzer tidak hanya memanipulasi opini publik, tetapi juga terdapat pola yang dilakukan untuk melawan pihak lain. Salah satu caranya ialah dengan melalui trolling (pelecehan), kampanye hitam, dan mempolarisasi masyarakat di dunia maya.
Dalam konteks politik di Indonesia, buzzer telah banyak digunakan oleh politisi. Menurut Fahmi hal ini mengkhawatirkan kelangsungan demokrasi di Indonesia. Lebih lanjut, Fahmi mengatakan bahwa buzzer bekerja secara bersembunyi. “Sembunyi di balik nama, sembunyi di balik pola,” katanya.
Ia menyarankan untuk banyak melakukan riset dan mengekspos hasilnya, terutama secara real time. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi publik tentang manipulasi opini yang sedang dimainkan buzzer.
“Kita tunjukkan ke publik bahwa mereka lagi diserang oleh buzzer tertentu. Kita kasih tau bahwa berita ini hoaks, dan sebagainya,” tambah Fahmi.
Sedangkan Sekretaris Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) Muhammadiyah, Abdul Rohim Ghazali menyatakan keberadaan buzzer sangat mengkhawatirkan persatuan masyarakat Indonesia yang beragam.
Ia menilai fenomena buzzer tumbuh subur, terutama ketika menyangkut proses politik seperti pemilu. Ghazali bahkan mengatakan buzzer tersebut bukan hanya bekerja secara sukarela, tetapi ada juga organisasi yang mengatur secara profesional. “Banyak juga buzzer yang menjadi jasa profesional,” kata dia.