Bak air bah, banjir informasi menghampiri semua orang, baik pembuat kebijakan maupun masyarakat. Di tengah kondisi itu, kemampuan memilah informasi dan memanfaatkannya secara jernih menjadi tantangan.
Dalam sejarah umat manusia, saat ini mungkin adalah era ketika informasi paling mudah didapatkan. Perkembangan teknologi membuat berbagai informasi berseliweran dengan cepat, dalam hitungan detik.
Di satu sisi, hal ini patut disyukuri karena banyak hal dapat diketahui dengan mudah. Demokratisasi informasi terjadi di mana-mana. Namun, pada saat yang sama, kondisi ini juga sering membuat bingung, bahkan dapat memicu konflik sosial. Pasalnya, informasi yang beredar sering tak sesuai kenyataan atau dimaksudkan untuk niat tertentu yang tak baik.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menceritakan, suatu ketika Kementerian Sosial (Kemensos) pernah mendapat informasi melalui aplikasi percakapan tentang seorang nenek yang hidup telantar. Sebagai kementerian yang mengurusi masalah sosial, informasi itu ditindaklanjuti.
Akan tetapi, saat tim dari Kemensos mendatangi lokasi, ternyata nenek itu sudah meninggal dua tahun silam. ”Saya tetap harus mendapatkan bukti dengan mencari akta kematiannya,” kata Risma di Jakarta, Jumat (25/6/2021).
Karakter informasi dari media sosial (medsos) dan aplikasi pesan yang tak selalu akurat membuat Risma tidak menggunakannya sebagai basis informasi utama untuk membuat kebijakan yang besar.
Risma menegaskan, tidak semua informasi dari aplikasi percakapan itu hoaks. Ada juga yang berupa fakta.
Namun, karakter informasi dari media sosial (medsos) dan aplikasi pesan yang tak selalu akurat membuat Risma tidak menggunakannya sebagai basis informasi utama untuk membuat kebijakan yang besar.

KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Menteri Sosial Tri Rismaharini menemui komunitas Orang Rimba di wilayah Bukit Duabelas, Kabupaten Batanghari. Jambi, Rabu (10/3/2021). Selain membari sejumlah bantuan ekonomi dan sosial, Risma menawarkan bantuan lahan kelola untuk pangan serta layanan internet untuk mendukung pendidikan bagi anak-anak rimba.
Dalam membuat kebijakan pembenahan data terpadu penerima bantuan sosial, misalnya, Risma menggunakan acuan data laporan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Sumber informasi lain yang digunakan adalah media arus utama. ”Dari awal, sumber informasinya sudah valid karena temuan lapangan lembaga tepercaya,” ujarnya.
Baca juga: Harapan Sekaligus Tantangan Media Tepercaya
Menghadapi informasi yang simpang siur belakangan ini juga dirasakan Yustinus Prastowo, Staf Ahli Menteri Keuangan Sri Mulyani. Hampir setiap hari ia meluruskan informasi yang beredar melalui akun media sosialnya terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diatur dalam RUU Ketentuan Umum Perpajakan.
Baca juga: Kontroversi ”Pajak Sembako”
”Ada informasi yang mengatakan kementerian memajaki sembako atau nanti orang melahirkan akan kena pajak. Informasi itu tidak benar karena konteksnya tidak seperti itu sehingga kami memang harus menjelaskan kepada publik duduk masalahnya,” ucapnya.
Ia berharap, perbincangan terkait isu itu tidak kehilangan konteksnya dan perlu memahami semangat utuh dari penyusunan kebijakan.

Yustinus Prastowo
Banjir informasi juga membuat publik kebingungan dan bahkan memicu keresahan. Hal ini, antara lain, terlihat saat lonjakan kasus Covid-19 di Bangkalan, Jawa Timur. Seiring dengan lonjakan kasus itu, di medsos beredar informasi, antara lain, Covid-19 adalah konspirasi dan ketika menerima vaksin justru akan muncul gejala penyakit itu.https://ads.kompas.id/www/delivery/afr.php?zoneid=758&cb=EQ9JnPQVrXUoiE1l
Baca juga: Pasukan Siber Mengepung Dunia, Turut Mengancam Indonesia
Pada tahun 2019, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara memutuskan memblokir akses internet di Papua sebagai upaya pengendalian informasi yang beredar agar tidak memperkeruh suasana yang saat itu sedang panas. Namun, tindakan itu dipandang melanggar kebebasan informasi sehingga digugat kalangan masyarakat sipil ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada 2020, PTUN menilai pemerintah melanggar hukum dengan kebijakan itu.
Baca juga: PTUN Nyatakan Pemerintah Melanggar Hukum Blokir Akses Internet di Papua
Literasi
Terkait banjir informasi, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam wawancara khusus dengan Kompas mengatakan, diperlukan edukasi terus-menerus kepada masyarakat dalam mengonsumsi informasi yang beredar.
”Itulah kita harus mengedukasi masyarakat supaya masyarakat cerdas dan tidak menerima semua informasi yang diperoleh. Sebab, ada informasi positif, ada informasi negatif, ada fitnah, ada juga kabar bohong. Kita harus mengedukasi masyarakat untuk tidak menerima saja,” tuturnya.BPMI – SETWAPRES

Banjir informasi, menurut Menkominfo Johnny G Plate, adalah wajar sepanjang tak membingungkan, memecah belah, dan membuat kekalutan masyarakat. Kemenkominfo saat ini melakukan patroli siber 24 jam nonstop yang dilengkapi crawling machine guna menangkal kabar bohong.
Kita harus mengedukasi masyarakat supaya masyarakat cerdas dan tidak menerima semua informasi yang diperoleh. Sebab, ada informasi positif, ada informasi negatif, ada fitnah, ada juga kabar bohong. Kita harus mengedukasi masyarakat untuk tidak menerima saja.
Saring medsos
Kreator Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengatakan, tidak semua hal yang ada di medsos mewakili ekspresi publik. Medsos lebih menyerupai survei real time yang boleh jadi menunjukkan kecenderungan tertentu, tetapi bukan kebenaran. Jika ingin mencermati medsos, harus dilakukan analisis detail.
Baca juga: Ancaman Bernama Disinformasi
”Harus ada stakeholder mapping, misalnya, soal PPN. Muhammadiyah telah menyampaikan ketidaksetujuan. Lalu bagaimana pihak lainnya? Ini untuk mengetahui betul apakah suara publik itu. Sebab, ada juga bot atau mesin di medsos,” ujar Ismail.
Keberadaan tokoh sentral yang berwenang dan mendiseminasi informasi yang benar tentang sesuatu hal, lanjut Ismail, diyakini lebih efektif untuk mengatasi disinformasi ataupun misinformasi.KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Agus Sudibyo
Melihat fenomena banjir informasi, anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, mengatakan, hal itu positif sebagai bagian dari demokratisasi informasi. Kehadiran hoaks atau berita bohong dalam banjir informasi itu pun nyata, tetapi tidak perlu disikapi berlebihan.
Dalam pembuatan kebijakan, menurut Agus, pemerintah dapat mendengarkan masukan publik, baik melalui medsos maupun media arus utama. Jika pemerintah ingin menangkap masukan publik, salah satu langkah paling aman ialah melakukan kajian mendalam terhadap pemberitaan media arus utama. Sebab, media massa memiliki metodologi dalam menyajikan suatu informasi.
”Menulis sesuatu dengan metodologi itu berbeda dengan menulis sesuatu dengan apriori. Jika ingin tahu publik maunya bagaimana, lakukan survei opini publik. Kalau kurang yakin, lakukan konten analisis pemberitaan media arus utama tentang satu isu,” tuturnya.
Link: https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/06/28/melangkah-di-tengah-labirin-informasi