Jakarta –
Isu buzzer dan influencer mengemuka. Para politikus saling beradu argumen usai juru bicara Presiden Jokowi menyatakan influencer berperan penting di era demokrasi digital. Apa sih beda buzzer dan influencer?
Pertama, buzzer. Dilihat dari akar katanya, yakni ‘buzz’ dalam bahasa Inggris berarti ‘dengung’. Jadi, ‘buzzer’ bisa dialihbahasakan sebagai ‘pendengung’ di media sosial (medsos).
Adapun influencer berasal dari kata ‘influence’ yang artinya ‘pengaruh’. Dalam bahasa Indonesia, influencer disebut juga sebagai pemengaruh. Lalu apa beda buzzer dan influencer?
Kepada detikcom, Selasa (1/9/2020), analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, memberikan penjelasan mengenai perbedaan dua makhluk internet ini.
“Buzzer cenderung mengamplifikasi isu yang sudah ada. Dia tidak membuat isu sendiri,” kata Ismail.
Buzzer biasa bekerja atas dasar pesanan isu yang dibawa suatu agensi kehumasan (public relation/PR), partai politik, pemerintah, perusahaan produk tertentu, selebritis, atau pihak lainnya. Secara personal, buzzer bukanlah siapa-siapa, bahkan anonim.
Akun-akun medsos buzzer bisa saja cuma sembarang nama, dengan foto profil perempuan, laki-laki, atau tokoh anime. Memang, pihak yang merekrut para buzzer tidak menggubris siapa identitas asli buzzer-buzzer ini. Yang paling penting bagi perekrut, misinya tersebar dan viral di Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, atau platform lainnya.
“Buzzer ini biasanya bukan orang terkenal, dia bukan public figure,” kata Fahmi.
Di sinilah letak perbedaannya. Buzzer bukanlah sosok terkenal, tapi influencer adalah sosok terkenal yang punya pengaruh.
“Influencer adalah figur yang dikenal di bidangnya masing-masing. Misalnya di seni influencer itu adalah artis, atau di bidang politik si influencer ini adalah politikus tenar,” kata Fahmi.
Influencer punya banyak pengikut (follower). Apa yang disampaikannya di akun medsos bisa memengaruhi followernya. Pihak yang punya misi menggulirkan isunya via medsos bakal merekrut si influencer lantaran si influencer punya pengaruh yang besar.
“Berbeda dengan buzzer, influencer sudah punya pengaruh yang besar sebelum dia diberi pekerjaan oleh pemberi pesan,” kata Fahmi.
Pada dasarnya, influencer adalah sosok yang independen. Hidup-matinya influencer tidak tergantung isu yang ditawarkan si pemegang proyek, karena sebelum dapat proyek-pun si influencer sudah terkenal duluan. Bayaran seorang influencer jauh lebih tinggi ketimbang satu orang buzzer.
“Influencer bisa Rp 10 juta sekali posting saja. Buzzer jauh dari itu. Buzzer dikonttrak sebulan dua bulan untuk terus menerus bekerja memposting isu,” kata dia.
Baik influencer dan buzzer bisa memengaruhi trending topics medsos, algoritma mesin pencari, atau konten viral. Meski begitu, bukan berarti trending topics, algoritma mesin pencari, dan konten viral pasti hasil karya influencer dan buzzer.
BuzzeRp, apa itu?
Fahmi menjelaskan, ada buzzer yang sukarela bekerja, ada buzzer yang bekerja berdasarkan bayaran pemegang proyek. Buzzer yang sukarela biasanya bergerak sukarela meramaikan suatu isu karena punya kesamaan ideologi atau kecocokan dengan tokoh politik/selebritis/produk tertentu.
“Buzzer yang sukarela ada, yakni buzzer ideologis karena punya kesamaan pandangan politik,” kata Fahmi.
Di sisi lain, buzzer bayaran juga banyak. Fahmi mengidentifikasi buzzer bayaran punya polah tertentu. Kenalilah cirinya.
“Ada buzzer yang dibayar, cirinya adalah postingan cuma satu tema saja terus setiap hari,” kata Fahmi.
Ada istilah BuzzeRp yang dewasa ini sering digunakan oleh netizen. Istilah itu merujuk ke buzzer pro-pemerintah. Kebalikan BuzzeRp adalah kadrun. Istilah kadrun adalah sebutan olok-olok untuk pihak yang antipemerintah.
“BuzzeRp itu adalah istilah bully yang ditujukan ke buzzer yang dibayar pemerintah,” kata dia.
Pandangan pemerintah
Juru bicara Presiden, Fadjroel Rachman, menilai para aktor digital, salah satunya influencer, merupakan bagian penting dalam perkembangan informasi dan demokrasi digital. Menurut Fadjroel, dalam konteks pemerintahan demokrasi, para influencer dibutuhkan sebagai jembatan untuk mengkomunikasikan kebijakan kepada masyarakat.
“Perkembangan masyarakat digital dengan peranan para aktor digital (salah satunya influencer) umumnya adalah kelas menengah adalah keniscayaan dari transformasi digital. Aktor digital akan terus berkembang dalam peran-peran penting membangun jaringan informasi yang berpengaruh terhadap aktivitas produktif sosial ekonomi dan politik,” kata Fadjroel dalam keterangannya kepada wartawan, tadi.
Sebelumnya, Program Siberkreasi gagasan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) ramai diterpa isu miring terkait influencer di media sosial. Kominfo pun memberikan penjelasan terkait program tersebut.
Kominfo menjelaskan, Siberkreasi merupakan gerakan nasional literasi digital yang merupakan wadah kolaborasi bersama 108 lembaga dan komunitas. Di dalamnya, kata dia, memang ada program School of Influencer. Pelatihan yang ditujukan untuk masyarakat.
“School of influencer bukan pelatihan untuk para influencer. School of influencer bisa dicek di website maupun di medsos Siberkreasi,” kata Stafsus Menkominfo Bidang Digital dan SDM, Dedy Permadi, saat dihubungi detikcom, Minggu (30/8).(dnu/fjp)
Link: https://news.detik.com/berita/d-5156113/buzzer-dan-influencer-apa-bedanya?single=1