Program Kartu Prakerja masih meninggalkan polemik yang masih dibahas di ruang publik. Di samping polemik tentang kerja sama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan para mitra platform di Kartu Prakerja, mangkus dan sangkil atau tidaknya program ini masih dipertanyakan. Mencermati polemik di masyarakat, pemerintah dapat menimbang evaluasi model Kartu Prakerja.
Perkaranya, di ruang publik masyarakat masih beropini bahwa lebih baik anggaran dana digunakan untuk bantuan langsung. Jaring pengaman sosial semacam bantuan langsung tunai (BLT) dianggap masyarakat lebih logis untuk menyambung hidup daripada pelatihan daring.
Opini-opini yang menyeruak di ruang publik ini salah satunya ditangkap dan dianalisis oleh lembaga swadaya, Drone Emprit, melalui interaksi warganet di media sosial (Twitter, Instagram, Youtube, dan Facebook).
Dalam publikasinya berjudul ”Kartu Prakerja: Polemik dan Diskursus Publik
(7-21 April 2020), Ismail Fahmi mengulas tanggapan warganet terhadap kemunculan program ini di tengah situasi pandemi. Untuk menangkap percakapan tentang Kartu Prakerja, Drone Emprit menggunakan kata kunci: prakerja dan pra kerja dengan filter berikutnya kata kunci: kartu, pelatihan, kursus, unicorn, ruangguru, bayar, uang, BLT.
Untuk media sosial Twitter, nuansa yang ditemukan ialah sentimen negatif atau penolakan terhadap program Kartu Prakerja. Ditemukan, terdapat 112.899 mention dan pola retweet percakapan dengan 94.300 mention. Pada 18 April, percakapan didominasi dengan penolakan terhadap Kartu Prakerja dan desakan agar mengalihkan dana pelatihan ke BLT.
Program Kartu Prakerja masih meninggalkan polemik yang masih dibahas di ruang publik. Di samping polemik tentang kerja sama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan para mitra platform di Kartu Prakerja, mangkus dan sangkil atau tidaknya program ini masih dipertanyakan. Mencermati polemik di masyarakat, pemerintah dapat menimbang evaluasi model Kartu Prakerja.
Perkaranya, di ruang publik masyarakat masih beropini bahwa lebih baik anggaran dana digunakan untuk bantuan langsung. Jaring pengaman sosial semacam bantuan langsung tunai (BLT) dianggap masyarakat lebih logis untuk menyambung hidup daripada pelatihan daring.
Opini-opini yang menyeruak di ruang publik ini salah satunya ditangkap dan dianalisis oleh lembaga swadaya, Drone Emprit, melalui interaksi warganet di media sosial (Twitter, Instagram, Youtube, dan Facebook).
Dalam publikasinya berjudul ”Kartu Prakerja: Polemik dan Diskursus Publik
(7-21 April 2020), Ismail Fahmi mengulas tanggapan warganet terhadap kemunculan program ini di tengah situasi pandemi. Untuk menangkap percakapan tentang Kartu Prakerja, Drone Emprit menggunakan kata kunci: prakerja dan pra kerja dengan filter berikutnya kata kunci: kartu, pelatihan, kursus, unicorn, ruangguru, bayar, uang, BLT.
Untuk media sosial Twitter, nuansa yang ditemukan ialah sentimen negatif atau penolakan terhadap program Kartu Prakerja. Ditemukan, terdapat 112.899 mention dan pola retweet percakapan dengan 94.300 mention. Pada 18 April, percakapan didominasi dengan penolakan terhadap Kartu Prakerja dan desakan agar mengalihkan dana pelatihan ke BLT.
Di media sosial Instagram, nuansa sentimen negatif juga mendominasi. Terdapat total 114.185 engagement terkait Kartu Prakerja dan pola likes sebanyak 107.028 kali. Menariknya, warganet di kanal Instagram ini lebih menyoroti isu tentang keterkaitan Adamas Belva dengan statusnya sebagai Staf Khusus Presiden dan CEO Ruangguru.
Hal yang berbeda justru ditampilkan di kanal Youtube yang menaruh perhatian lebih pada momen kemunculan Kartu Prakerja di tengah pandemi dan narasi para korban PHK yang merasa tidak mendapat jawaban dengan adanya program ini. Terdapat 12.214 keterkaitan atau engagement terkait Kartu Prakerja. Konsep Kartu Prakerja oleh sebagian pihak dinilai tidak menjawab kebutuhan mereka yang menjadi korban PHK.
Narasi tentang bantuan langsung tunai atau BLT kembali terulang melalui media sosial Facebook. Secara jumlah, ditemukan 4.912 engagement dan pola shares pembahasan sebanyak 3.202 kali terkait Kartu Prakerja.
Di media ini, warganet merasa bahwa BLT lebih dibutuhkan ketimbang pelatihan daring yang tidak jelas manfaatnya. Semua tangkapan unggahan warganet dan perbincangan di media sosial ini menekankan bahwa sejak awal kemunculan hingga kini, Kartu Prakerja mendapatkan reaksi penolakan.
Warganet menilai, program pelatihan dinilai tidak menjawab permasalahan ekonomi dan kemampuan publik menjaga daya beli di tengah lesunya perekonomian dan meningkatnya PHK. Munculnya polemik inipun memicu sentimen lain yakni ketidakpercayaan dan kekecewaan publik terhadap pemerintah terkait kebijakannya di tengah situasi Covid-19.
Adapun analisis yang dilakukan Drone Emprit ini masih terbatas pada opini publik di media sosial. Meski begitu, pemerintah harus ingat pula bahwa media sosial kini menjadi ruang publik (public spehere) yang menjembatani opini dan persepsi masyarakat terhadap fenomena yang terjadi.
Maka, ada baiknya pertimbangan tentang jaring pengaman berupa BLT menjadi salah satu bahasan penting di situasi resesi ekonomi akibat pandemi. Bagaimanapun, masyarakat yang kehilangan mata pencarian membutuhkan bantuan nyata demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Langkah sejumlah pemerintah provinsi yang memberikan bantuan sosial kepada warganya patut diapresiasi meskipun masih harus dikawal agar tak luput dari celah penyalahgunaan anggaran dan bantuan oleh sejumlah pihak.
Kesenjangan digital
Selain dengung evaluasi kartu prakerja di media sosial, Kartu Prakerja juga bakal berhadapan dengan salah satu hambatan besar, yakni persoalan akses dan ketangkasan digital (digital savvy) masyarakat Indonesia. Perlu diingat, tidak seluruh masyarakat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, memiliki akses internet yang mumpuni dan keaktifan di dunia digital. Tentu saja, faktor lokasi, infrastruktur, dan edukasi menjadi persoalan yang masih belum rampung sebelum pandemi hadir.
Merujuk pada survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018, penetrasi internet di Indonesia telah menjangkau 171,17 juta penduduk dari total populasi 264,16 juta penduduk. Artinya, penetrasi internet hanya di kisaran angka 64,8 persen. Hal ini juga senada dengan survei yang dilakukan We Are Social yang menyatakan penetrasi di kisaran 64 persen.
Untuk media sosial Twitter, pada 18 April, percakapan didominasi dengan penolakan terhadap Kartu Prakerja dan desakan agar mengalihkan dana pelatihan ke BLT.
Dalam surveinya, APJII melanjutkan bahwa penetrasi internet di Indonesia masih berpusat di Pulau Jawa (55,7 persen). Sisanya, tidak ada yang sampai angka 20-an persen, kecuali Sumatera dengan 21,6 persen. Artinya, penetrasi internet belum menyeluruh hingga ke pelosok negeri.
Link: https://bebas.kompas.id/baca/riset/2020/05/02/evaluasi-segera-kartu-prakerja/