
Mengenakan jilbab hitam, Nita Novianti Anugerah berdiri di bawah terik matahari bersama puluhan aktivis dan akademisi dalam acara Kamisan yang digelar di depan Istana Merdeka, Jakarta, pekan lalu. Acara tersebut diadakan secara rutin – sekarang sudah yang ke-607 – oleh keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia untuk menuntut keadilan.
Nita, 22 tahun, mengatakan dirinya mengikuti Kamisan karena merasakan simpati pada keluarga korban. Mahasiswa jurusan sosiologi Universitas Negeri Jakarta itu menganggap pemerintahan Jokowi telah gagal menepati janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
“Jadi mau nggak mau, saya, yang muda, yang mungkin umurnya bisa lebih panjang dari mereka, meneruskan apa yang mereka suarakan,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Pemuda lainnya, Nirwan Sambudi, 21 tahun, mengatakan telah ikut Kamisan sejak 2017, mengetahui informasinya dari media sosial.
Nirwan memprotes penunjukan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan karena mantan jenderal TNI itu diduga terlibat dalam penculikan aktivis di masa Orde Baru.
“Track record-nya bisa lihat lah, sekarang informasi sudah terbuka, Prabowo Subianto adalah orang yang terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran HAM di masa lalu,” kata Nirwan, mengulang tuduhan yang telah berkali-kali dibantah oleh pihak Prabowo.
Nita dan Nirwan adalah bagian dari demografi yang disebut Generasi Z. Di tengah gejolak Indonesia pasca-pemilihan presiden 2019, aspirasi sosial dan politik dari generasi setelah Milenial ini mulai muncul ke permukaan.
Siapakah Generasi Z?
Generasi Z adalah sebutan bagi kelompok masyarakat yang tumbuh dewasa dalam dekade kedua Abad ke-21.
Mereka adalah generasi setelah milenial, yang lahir pada pertengahan 1990-an dan awal 2000-an. Lembaga riset AS, Pew Research Center mendefinisikan Generasi Z atau “post-millenials” sebagai orang yang lahir di antara tahun 1997-2012 – meski batasan ini tidak eksak.
Rentang waktu tersebut dipilih karena dianggap memberikan pengalaman formatif yang berbeda dari generasi sebelumnya, seperti perkembangan teknologi dan tren sosioekonomi baru, misalnya ketersediaan akses internet lewat jaringan nirkabel, dan peristiwa-peristiwa penting, salah satunya serangan teroris 11 September.
Barangkali hal yang unik dari Generasi Z adalah kebanyakan dari mereka tumbuh seiring perkembangan jaringan internet broadband.
Bila sebagian Milenial masih mengingat kehidupan tanpa internet dan media sosial, Generasi Z disebut-sebut sebagai ‘digital native‘ yaitu orang-orang yang tumbuh dewasa di era digital.

Dan memang, setidaknya bagi Nita, media sosial “bagaikan nasi”. Pemudi itu mengatakan media sosial, khususnya Instagram, menjadi tempat ia mendapatkan informasi.
“Karena sekarang media sosial itu sudah seperti TV zaman dulu. Jadi sekarang semua orang membuka media sosial. Semua orang cari info di media sosial,” ungkapnya.
Demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan siswa STM bulan lalu, menentang revisi UU KPK serta pengesahan sejumlah RUU bermasalah lainnya, seakan membuka mata banyak kalangan akan aspirasi politik Generasi Z.
Aksi tersebut dilakukan di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Banyumas, Jember, Lampung, hingga Makassar.
Manurut analis media sosial dari Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, mahasiswa yang sebagian besar merupakan Generasi Z muncul sebagai kelompok baru dalam percakapan politik pasca-Pilpres. Kelompok ini, kata Ismail, sebelumnya jarang terlibat dalam pembicaraan politik di media sosial.
“Mahasiswa menjadi kelompok baru yang menyuarakan aspirasinya, salah satunya dengan tagar #GejayanMemanggil,” kata Ismail.
Peran influencer
Menggunakan alat pemantau percakapan di media sosial, Drone Emprit, Ismail mendapati bahwa akun @awkarin dan @BEAUTIFULYOONGO termasuk top influencer yang menyebarkan dukungan kepada aksi mahasiswa serta menyuarakan protes bersama para aktivis dan kelompok oposisi. Jaringan dari kedua akun tersebut adalah Generasi Z dan para penggemar K-Pop, kata Ismail.
Yang menarik, Ismail menambahkan, jumlah followers akun @BEAUTIFULYOONGO tidak banyak, hanya 133 (pada saat demo mahasiswa) dibandingkan @awkarin yang berjumlah ratusan ribu.
Ia menjelaskan bahwa para penggemar K-Pop di media sosial, yang kebanyakan merupakan bagian dari Generasi Z, kerap menunjukkan solidaritas tidak hanya dalam membahas artis idola mereka, tapi juga dalam isu-isu seputar demokrasi, kebebasan, dan kemanusiaan. Hal ini menantang persepsi negatif tentang para penggemar K-Pop, kata Ismail.
“Mereka muak dengan hiburan di televisi Indonesia yang dianggap tidak berkualitas. Tapi selain entertainment, para artis K-Pop juga mengajarkan solidaritas, saling bantu, disiplin, belajar tentang budaya, dan sifatnya internasional jadi mereka bisa belajar banyak hal baru.”

Ana, remaja berusia 17 tahun, di balik akun @BEAUTIFULYOONGO mengatakan tujuannya membuka akun adalah mengekspresikan kegemarannya pada grup K-Pop BTS. Meski demikian hal yang dibicarakan dengan sesama penggemar lainnya, yang menyebut diri mereka ‘army’, tidak sebatas fangirling.
“Kita banyak bangetngomongin tentang beberapa hal kayak end violence campaign (kampanye untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan -red.) bagaimana melawan xenofobia, rasisme,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Ana merasa media sosial memiliki kekuatan untuk mengubah dunia karena bisa menyebarkan pemahaman tentang isu-isu yang terjadi di suatu negara, misalnya di Indonesia.
“Media sosial ini membantu banget untuk spread awareness tentang apa yang terjadi di negara kita … Kenapa kita ditembaki dengan gas air mata, padahal kita cuma mau menggunakan hak untuk bersuara,” ungkapnya.
Gerakan sosial
Selain menyuarakan aspirasi politik, Generasi Z juga menggunakan media sosial untuk mendorong gerakan sosial. Salah satunya ditunjukkan oleh Awkarin.
Nama Awkarin mulai dikenal publik setelah video curhat kepada mantan pacarnya viral, tiga tahun lalu.
Tapi perempuan dengan nama asli Karin Novilda itu kini memanfaatkan ketenarannya untuk melakukan berbagai kegiatan sosial seperti bersih-bersih sampah, membantu orang yang sedang kesusahan, dan menyadarkan masyarakat tentang kebakaran hutan.
Namun tindakan Awkarin tidak lepas kritik.
Sindiran halus muncul dari politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko, yang menyebut aktivisme Awkarin sebagai “kebaikan sensasional”, sesuatu yang menginspirasi banyak orang tapi dangkal dampaknya, dibandingkan dengan “kebaikan esensial” yang berdampak lebih mendalam tapi pada sedikit orang.
Budiman mengatakan bahwa kebaikan esensial lebih penting daripada kebaikan sensasional, dan bahwa masyarakat Indonesia lebih menyukai yang kedua meski lebih membutuhkan yang pertama.
Bagaimanapun, bagi sebagian Generasi Z, kebaikan dari media sosial memberi dampak mendalam pada hidupnya. Salah satunya Aprilia Nur Azizah, perempuan berusia 21 tahun yang mengidap gangguan penglihatan.

Pada bulan Maret 2019, Aprilia meminta bantuan kepada warganet di Twitter. “Saya membutuhkan pekerjaan, apapun. Saya cacat fisik dari lahir, ekonomi keluarga kekurangan,” katanya dalam sebuah twit yang kemudian menjadi viral.
Perempuan asal Pangandaran, Jawa Barat itu mengatakan bahwa sebelum mengirim cuitan tersebut, ia telah menganggur selama tiga bulan dan kebingungan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di saat hampir putus asa, ia iseng-iseng meminta pertolongan dari Twitter.
“Saya nggakngarep lebih, cuma ingin kerjaan,” ujarnya.
Aprilia mengaku bahagia sekaligus terharu ketika mendapat respons dari banyak warganet, baik berupa balasan pada twitnya maupun pesan langsung (DM). Selain informasi tentang lowongan pekerjaan, ia mendapatkan tawaran kiriman uang – meski tidak semuanya ia terima – dan bantuan mata palsu yang ia butuhkan.
Bahkan, satu orang di Twitter membimbingnya dalam memperbarui CV dan menyusun lapangan kerja. “Orang ini terus menghubungi saya dan membantu saya,” kata Aprilia.
Kini, Aprilia telah bekerja di sebuah perusahaan perintis di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ia bekerja sambil kuliah. Kepada BBC News Indonesia, perempuan itu mengatakan cita-citanya adalah kembali ke Pangandaran sebagai seorang pengusaha dan membuka lapangan kerja di sana.
“Saya nggak mau apa yang saya alami dulu dialami orang lain”

Sebagai orang yang hidupnya terbantu oleh media sosial, Aprilia merasakan kekuatan media sosial dalam menyebarkan kebaikan. “Saya merasakan sendiri banyak kepedulian dan besar pengaruhnya media sosial,” imbuhnya.
Namun ia mengakui bahwa media sosial bagaikan pedang bermata dua, bisa menyebabkan ketagihan dan buang-buang waktu. Kebaikan warganet di media sosial, kata Aprilia, juga bisa dimanfaatkan oleh orang dengan niat jahat, atau setidaknya yang tidak butuh-butuh amat.
Potensi
Ismail Fahmi dari Media Kernels Indonesia mengatakan, dilihat dari aktivitas mereka di media sosial, Generasi Z memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Menurut Ismail, pemerintah harus memanfaatkan potensi ini dengan merangkul generasi Z, alih-alih menggunakan buzzer untuk menggiring opini publik.
Ismail mengatakan biasanya generasi Z tidak mau ambil risiko berurusan dengan buzzer yang suka saling serang. Mereka lebih suka percakapannya yang sifatnya cepat, cerdas, dan bernuansa positif.
Ia mencontohkan bahwa selama ajang Asian Games tahun lalu yang digelar menjelang pemilihan presiden, suara dari anak-anak muda membentuk cluster tersendiri dan cenderung menjauh dari percakapan politik.
“Jadi potensi ini hanya akan jadi potensi saja. Tidak akan muncul kalau buzzer-buzzer yang sisa-sisa Pilpres itu masih terus berjalan. Karena dia akan merusak dan mewarnai secara dominan percakapan di publik.”
“(Pemerintah) harus menggerakkan Generasi Z dan Milenial di media sosial untuk turut aktif dalam proses pembangunan. Kalau tidak, yang rugi mereka sendiri,” pungkas Ismail.